http://internationalpark.blogspot.com/

Abstrak


Ketika kita membecirakan konflik social masyarakat, kita akan langsung dihadapkan pada kompleksnya konflik yang terjadi dalam masyarakat, terutama dalam konteks ini masyarakat Indonesia sendiri, mulai dari konflik dalam politik, krisi pangan, kekerasan, pluralitas agama sampai seporter sepak bola. Konflik seperti ini memang sudah menjadi sebuah pemandangan yang lumrah, apalagi Sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi, politik, dan agama yang bermula sejak akhir 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada waktu itu pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu (Tilaar, 2004: 123)
Dalam ruang lingkup konflik social secara universal, konflik pasti terjadi pada setiap kelompok masyarakat, organisasi, instansi-instansi, pluralitas keagamaan dan sebagainya. Dalam makalah singkat ini penulis sedikit banyak mencoba mengaja para pembaca dan anggota diskusi kelas untuk membicarakan dan membahas lebih jauh dan konferhensif tentang peran pendidikan dalam mengatasi konflik social dalam pluralits keagaan, disamping juga akan disinggung tentang konflik social di sekolah dan juga dalam masyarakat secara umum.
Sebagai suatu wadah pengembangan kretivitas dan imajinasi para peserta didik, pendidikan harus berupaya menanamkan jiwa-jiwa sosialis kepada peserta didik, sebagai bekal para peserta didik dalam menghadapi kompleknya konflik yang terjadi dalam masyarakat era saat ini (kontemporer). Suatau keadaan yang sangat miris jika sebuah lembaga pendidikan hanya menjadi tempat transformasi ilmu secara formal, namun lebih dari itu, disampingkan sebagai temapat transformasi ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan juga harus mampu membentuk dan melahirkan generasi-generasi muda yang berakhlukul karima, berbudi luhur dan berjiwa tanggung jawab. Jadi pendidikan semestinya dan sudah seharusnya mampu melahirkan cikal bakal generasi-generasi bangsa yang mampu memberikan jawaban terhadap kompleksnya konflik yang terjadi. Lebih dari itu juga, pendidikan harus mampu mendidik masyarakat Indonesia yang multicultural, menuju kepada masyarakat yang sosialis, dinamis,  pluralis, toleransi, patriotism dan demokratisasi.

Kajian

Sebelum kita lebih jauh mengkaji Peran Pendidikan dalam mengatasi konflik sosial itu sendiri, hal urgen yang harus kita kaji lerlebih dahulu adalah apa sebenarnya yang dimasksud dengan konflik itu.

A. KONFLIK

1. Pengertian Konflik

Pengertian “Konflik” secara etimologis berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, tempat tinggal, pekerjaan, uang, dan kekuasaan?”, ternyata jawabannya tidak; dan ditanyakan oleh Cang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.

Dari pemaparan di atas secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan, menyingkirkan, mengalahkan atau menyisihkan.

2. Teori-tori konflik menurtut para ahli

a) Teori Konflik Mark

Teori ini muncul sebagai pengritik dari teori struktural fungsional. Struktural fungsional lebih memandang masyarakat dari sisi keseimbangannya. Padahal masyarakat penuh dengan ketegangan dan selalu berpotensi melakukan konflik.
Mark mempunyai beberapa pandangan tentang kehidupan sosial yaitu:

1) Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan.
2) Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena berkerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
3)  Bagi Mark, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan asset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu, konflik antara kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling menonjol menurut Marx adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang barang yang material.
4)  Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari  dua kelas yang didasarkan pada kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar.
5) Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha.
6) Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual tenaganya.

b) Teori Konflik Ralf Dahrendof

Ralf Dahrendof menyatakan bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak memiliki kewenangan (subjeksi). 
Secara garis besar pokok-pokok teori ini adalah:

1) Setiap kehidupan sosial berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan merupakan gejala yang bersifat permanen yang mengisi setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti oleh konflik baik secara personal maupun secara interpersonal.
2) Setiap kehidupan sosial selalu terdapat konflik didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen yang mengisi setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring dengan kehidupan sosial itu sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial.
3)  Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi pertumbuhan dua variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan timbulnya konflik.
4)  Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi sejumlah kekuataan-kekuataan lain. Dominasi kekuatan secara sepihak akan menimbulkan konsiliasi, akan tetapi mengandung simpanan benih-benih konflik yang bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik terbuka.

c) Teori Konflik Lewis Coser

Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser  sering kali disebut teori fungsionalisme konflik karena ia menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Coser mulai dengan mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya.
Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik yaitu;

1) Koflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan.
2)  Keompok dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas didalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarkannya kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain.
3) Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolir menjadi berperan secara aktif.

3. Penyebab terjadinya konflik

a) Terjadinya perubahan social dalam masyarakat

Salah satu faktor terjadinya konflik social adalah terjadinya perubahasan social pada masyarakat. Perubahan sosial pada dasarnya merupakan perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang dapat menimbulkan dampak yang berbentuk sebuah kemajuan (progress) maupun berebnruk sebuah kemunduran (regress). lebih jelasnya lagi, di jelaskan dalam buku sosiologi pendidikan DR. Abdullah Idi bahwa Perubahan social adalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu system social. Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses social. Dengan perubahan social juga merupakan gejala yang melekat di masyarakat yang dapat di ketahui dengan membandingkan keadaan masyarakat pada suatu waktu dengan keadaan masyarakat pada masa lampau, misalnya dibeberapa masyarakat Indonesia ummnya (pada masa lampau), suami merupakan posisi yang sangat dominan dalam berbagai macam urusan  dalam kehidupan keluarga, sehingga apabila tidak bekerja atau tidak mempunyai penghasilan, suatu keluarga secara ekonomi akan mengalami lumpuh. Dalam perkembangannya, pada masyarakat modern sekarang suami tidak selalu merupakan posisi yang menentukan jalan kehidupan keluarga.

b) Perbedaan antar perorangan

Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, Pendirian atau pendapat. Dan perbedaan-perbedaan inilah yang dapat melahirkan sebuah konflik, karena memang sudah fitrahnya, setiap individu itu dalam intraksinya dengan masyarakat tentunya tidak selamnya mempunyai presfektif atau pendapat yang dalam menanggapi sesuatu.

c) Perbedaan Kultur Budaya dan Agama

Di Negara multikultural seperti Indonesia ini, tentunya tidak dapat pungkiri lagi, terjadi banyak konflik social dalam masyarakat karena terjadi perebedaan sudut padang kultur budaya dan juga agama yang di yakini masing-masing. Dalam morespon begitu maraknya terjadi kekerasan karena terjadi perbedaan dalam kultur budaya dan juga mengatasnamakan agama, maka lahirnya banyak tokoh-tokoh moderat dan libral sekuler di Indonesia yang meyumbangsikan pemikirannya, misalnya Nurcholis Majid dengan Pluralismenya, Gusdur denga Pribumisasi Islam dan sebagainya.

d) Perbedaan Kepentingan

Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan setiap individu mempunyai kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian halnya pula dengan suatu kelompok tentunya akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan kelompok lain. jadi terjadinya perbedaan terhadap kebutuhan dan kepentingan baik individu atau kelompok inilah salah satu dari penyebab terjadinya konflikm social.

B. PERAN PENDIDIKAN DALAM MENGATASI KONFLIK SOSIAL

1. Peran Pendidikan dalam Mengatasi Konflik Sosial di Sekolah

Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia yang mencakup pengetahuannya (kognitif), nilai dan sikapnya (afektif), serta keterampilannya (psikomotorik). Dalam hal ini pendidikan bertujuan untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak kepribadian manusia.
Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup 3 dasar pendidikan (tri dharma pendidikan) yakni :

a) Kegiatan mendidik dan mengajar

Istilah mendidik dan mengajar menunjukkan usaha yang lebih ditujukan pada pembentukan watak dalam mengembangkan budi pekerti hati nurani kecintaan, rasa kesusilaan dan lain-lain serta memberi ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan intelektual manusia.

b) Kegiatan penelitian 

Kegiatan penelitian merupakan aplikasi dari pengetahuan yang didapat peserta didik untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungannya sehingga akan terjadi sesuatu pembiasaan dalam bertindak.

c) Pengabdian pada masyarakat. 

Pengabdian dalam masyarakat adalah hal yang paling penting dalam transformasi nilai pendidikan sehingga pendidikan bisa berfungsi untuk menyelesaikan persoalan hidup bagi masyaraka yang lebih baik.

Pendidikan sangat berpengaruh dalam mengatasai suatu konflik social dalam kelas, trutama peran seorang guru. Dalam masalah sosial, guru pembimbing sangat dibutuhkan dalam menangani masalah ini. Dengan cara mendiagnosis masalah sosial siswa, diagnosis dilakukan dalam rangka memberikan solusi terhadap siswa yang mengalami masalah sosial.

Untuk mendapatkan solusi secara tepat atas permasalahan sosialnya, guru harus terlebih dahulu melakukan identifikasi dalam upaya mengenali gejala-gejala secara cermat terhadap fenomena-fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya permasalahan sosial yang melanda siswa. Diagnosis dilakukan untuk mengetahui dan menetapkan jenis masalah yang dihadapi klien lalu menentukan jenis bimbingan yang akan diberikan. Dalam melakukan diagnostik masalah sosial siswa perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

a) Mengenal peserta didik yang mengalami masalah sosial

Dalam mengenali peserta didik yang mengalami masalah sosial, cara yang paling mudah adalah dengan melaksanakan sosiometri. Sosiometri merupakan suatu metode untuk mengumpulkan data terntang pola dan struktur hubungan antara individu-individu dalam suatu kelompok. Sehingga, akan tergambar siswa yang mengalami masalah sosial.

b) Memahami sifat dan jenis masalah sosial

Langkah kedua dari diagnosis masalah sosial ini mencari dalam hubungan apa saja peserta didik mengalami masalah sosial. Dalam hal ini guru pembimbing memperhatikan bagaimana perilaku siswa dalam pergaulan, baik di sekolah, rumah dan masyarakat.

c)  Menetapkan latar belakang masalah sosial

Langkah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang yang menjadi sebab timbulnya masalah sosial yang dialami siswa. Cara ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku siswa yang bersangkutan, selanjutnya dilakukan wawancara dengan guru, wali kelas, orang tua dan pihak-pihak lain yang dapat memberikan informasi yang luas dan jelas.

d) Menetapkan usaha-usaha bantuan

Setelah diketahui sifat dan jenis masalah sosial serta latar belakangnya, maka langkah selanjutnya ialah menetapkan beberapa kemungkinan tindakan-tindakan usaha bantuan yang akan diberikan, berdasarkan data yang diperoleh.

e) Pelaksanaan bantuan
Langkah ini merupakan pelaksanaan dari langkah sebelumnya, yakni melaksanakan kemungkinan usaha bantuan. Pemberian bantuan dilaksanakan secara terus menerus dan terarah dengan disertai penilaian yang tepat sampai pada saat yang diperkirakan. Bantuan untuk mengentaskan masalah sosial terutama menekankan akan penerimaan sosial dengan mengurangi hambatan-hambatan yang menjadi latar belakangnya. Pemberian bantuan ini bisa dilakukan melalui layanan konseling kelompok yang memanfaatkan dinamikan kelompok.

f) Tindak lanjut
Tujuan langkah ini ialah untuk menilai sejauh manakah tindakan pemberian bantuan telah mencapai bantuan telah mencapai hasil yang diharapkan. Tindak lanjut dilakukan secara terus menerus, baik selama, maupun sesudah pemberian bantuan. Dengan langkah ini dapat diketahui keberhasilannya.

2. Peran Pendidikan dalam Mengatasi Konflik Sosial dalam Agama

Perbedaan di antara manusia dalam agama terjadi karena kehendak Allah Swt. dan orang muslim meyakini kehendak Allah itu tidak ada yang dapat menolak dan mengubahnya, sebagaimana dia tidak berkehendak kecuali didalamnya terdapat kebaikan dan hikmah. Ungkapan Yusuf Qordhawi ini dalam bukanya yang membahas tentang orang-orang Muslim telah membuka pintu pemahaman bagaimana sikap non muslim yang hidup di Negara Islam maupun di luar negeri Islam.

Dalam Al-Qur’an telah di jelaskan juga tentang pernyataan bahwa Allah yang menghendaki  perbedaan pada diri manusia, oleh karena itu walaupun kita mengembor-ngemborkan menolak perebedaan, maka berarti mereka tidak menyadari bahwa itu sudah tradisi manusia dan sudah menjadi kehendak Allah. firman Allah yang artinya :

Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman sema? (Qs. Yunus [10]:99). 

Jadi perbedaan cara pandang, budaya, ras, suku, bangsa, agama dan sebagainya sudah menjadi hukum alam. Untuk itu sebagi sebuah lembaga Pendidikan tentunya harus mampu memberikan sumbangsi konkritnya untuk menjawab konflik-konflik sosial yang akhir-akhir ini begitu kompelks, khususnya dalam agama.
Multikulturalisme beragama saat ini memang sedang mengalami disentergarasi, dimana terjadi banyaknya konflik antar paham atau aliran, yang mayoritas dari semua kelompok aliran tersebut memberikan stimulus bahwa agama merekalah yang benar. 

Dengan begitu kompeks konflik-konflik yang terjadi dalam agama ini, pendidikan harus meliahatkan eksistensi dan sumbangsi konkritnya untuk dapat menengahi dan menjembatani serta meminimalisir terjadinya konflik tersebut. Secara universal dalam ruang lingkup konflik agama, peran pendidikan dalam mengatasi konfik yang terjadi dapat dikjasifikasikan sebagai berikut :

a) Menlahirkan dan mencetak generasi-generasi muda, pelanjut tongkat estafet bangsa, yang berjiwa sosialis, plurais, toleran, humanis dan patriotism.

b) Melakukan penelitian-penelitian sosial keagamaan dalam masyarakat, suapaya pendidikan mampu mengapdate terus perkembangan kultur kegamaan masyarakat, dan darisan sebuah instansi pendidikan meyumbangsikan pemikirannya untuk menjwab problema-problema terhadap konflik yang mungkin terjadi dalam masyarakat.

c) Pendidikan harus menjalin hubungan baik dan intensif dengan berbagai macam kalangan, agar terjadinya hubungan timbale baik yang efektif dan efisien.

Kemudian hal yang takkalah pentingnya adalah pengembangan pendidikan multikuluralisme. Pendidikan Multikultural Sebagai konsekuensi logis dalam kehidupan di era plural, kenyataan multikulturalisme tidak dapat dihindarkan, karena itu pendidikan yang terkait dengan multikultural adalah keharusan. Pendidikan yang dimaksud dapat diuraikan dalam tiga sub-nilai sebagaimana konsep Lawrence (Larry May (ed) 2001: 19-20), yaitu :

a) Penegasan identitas kultural seseorang. Identitas kultural seseorang merupakan entitas fundamental dalam kehidupannya, dan itulah yang membedakannya dengan orang-orang di luar dirinya. Walaupun sebagai entitas fundamental dalam kehidupan seseorang.
b) penghormatan dan keinginan untuk memahami dan belajar dari kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya. 

Dalam konteks kehidupan yang plural, Parekh mengklasifikasi lima model multikulturalisme (Azyumardi Azra, 2005), yang hemat penulis dapat menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di tanah air.Penyelenggara pendidikan dapat memilah dan memilih mana di antaranya yang tepat dan relevan untuk konteks Indonesia. Kelima model multikulturalisme yang dimaksud adalah: 

a) “Multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh-contoh kelompok ini adalah seperti masyarakat yang ada pada sistem “milled” di Turki Usmani atau masyarakat Amish di A.S. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain pada umumnya. 

b) “Multikulturalisme akomodatif”, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan cultural kaum 
minoritas.

c) “Multikulturalisme otonomis” yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominant dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. 

d) “Multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu konsern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.

e) “Multikulturalisme kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committedkepada budaya tertentu dan begitu juga sebaliknya, secara bebas terlibat di dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Lima klasifikasi multikulturalisme di atas tidak semuanya cocok untuk konteks Indonesia. Yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pendidikan adalah menyaring kira-kira multikulturalisme mana yang tepat atau paling tidak mendekati tujuan meminimalisir konflik horizontal. Karena ragam dan macam multikulturalisme itulah yang melahirkan pendidikan multikultural, yaitu pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. 

Kesipulan

Di dalam kegiatan di sekolah terdapat suatu tatanan struktur organisasi yang di rancang untuk jenis-jenis kegiatan di sekolah itu sendiri. Misalnya terdapat kepala sekolah, wakil kepala sekolah, sekertaris bendahara, dan lain-lain. Hal ini pun juga terdapat sampai tiap-tiap kelas dari dasar sampai atas yang terdapat dalam sekolah itu sendiri, misalnya di SD ada kelas 1 (satu) sampai enam (6). Hal di dalam inilah terdapat masing-masing individu yang mempunyai kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang berbeda-beda paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih sehingga muncullah konflik. Konflik inilah bisa dinilai dari segi positif maupun negatif. Dari segi positif yaitu sebagai alat untuk memelihara solidaritas, mengaktifkan peran individu, dan sebagai komunikasi yang baik. Dari sisi negatifnya yaitu hancurnya kesatuan kelompok, perubahan individu yang memburuk, dan hancurnya nilai-nilai dan norma sosial.

Begitu juga dalam agama, tentunya terdapat banyak perbedaan dalam dalam kepentingan dan tujuan masing-masing, yang pada akhirnya juga akan melahirkan konflik sosial dalam keyakinan yang di pegang masing-masing. Dari kedua fakta inilah sebuah intansi pendidikan harus menunjukkan peran dan sumbangsi koknkritnya dalam mengatasi konflik sosial yang terjadi.

Akhirnya semoga sedikit banyak kulasan dalam makalah ini, dapat memberikan pencerahan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca umunya dan khususnya bagi penulis sendiri.

Daftar Pustaka

- Huwaydi, Fahmi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani. Penerbit : Mizan. Jakarta 1996.
- Idi, Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan : Individu,Masyarakat dan Pendidikan.Penerbit; Rajawali Press.Jakarta 2011
- Maliki Zainudin, Sosiologi Pendidikan, Penerbit : UGM Press. Yogyakarta, 2008.
- Setiadi, Elly M. dan Kolip Usman, Pengantar Sosiologi, Penerbit : Kencana, Jakarta 2011.
-  Jurnal Pendidikan Islam El Tarbawi oleh :Rusan Ibrahum “Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam era pluralitas Agama”. no 01 vol 01 2008.
- www.siswapedia.com/faktor-faktor-penyebab-konflik-sosial.
- http://rouf-artikel.blogspot.com/2012/12/pendidikan-dan-konflik-sosial-di-sekolah.html

Comments (3)

On 7 April 2017 pukul 00.46 , grEEnLEaF rEdhEart mengatakan...

TERUK

 
On 7 April 2017 pukul 00.48 , grEEnLEaF rEdhEart mengatakan...

SANGAT BAGUS

 
On 20 Maret 2019 pukul 04.35 , DCAja mengatakan...

blog yang sangat bermanfaat... terimakasih... 😊👍